Mayoritas anggota Bmc pasti pernah menikmati perjalanan sebagai penumpang bis. Pertanyaan sederhana yang sering muncul: apakah sebagai penumpang bis, anggota Bmc sudah mengetahui hak dan kewajibannya?
Berangkat dari pertanyaan di atas, contoh situasi di bawah ini mungkin akan membuat kita mulai berpikir urgensinya, terlepas dari praktek atau kebiasaan yang mungkin terjadi.
• Bagaimana jika bis yang ingin kita naiki mengalami keterlambatan berangkat atau keterlambatan tiba di tujuan
• Bagaimana jika kita diturunkan di tempat yang tidak sesuai dengan tujuan awal kita beli karcis bis
• Bagaimana jika fasilitas bis yang kita naiki tidak sesuai dengan harga yang kita bayar
• Dan sebagainya
Pertanyaan sederhana dan sepertinya tidak ada yang baru, tetapi bagaimana jika ada penumpang awam yang kebetulan mengalami situasi di atas dan bertanya kepada member Bmc, apakah jawaban yang kita berikan sudah benar secara aturan atau benar berdasarkan kebiasaan saja?
Melihat pengangkutan dari salah satu aspeknya, yaitu aspek perjanjian, mungkin dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.
Pengangkutan sebagai perjanjian biasanya didahului dengan kesepakatan antara pihak pengangkut (PO) dengan pihak penumpang. Kesepakatan tersebut diikuti dengan diterbitkannya karcis penumpang sebagai pembuktian adanya perjanjian.
Kewajiban PO secara garis besar adalah mengangkut penumpang sejak dari tempat pemberangkatan sampai ke tujuan yang telah disepakati dengan selamat. Sebaliknya, PO berhak atas uang jasa atau uang sewa yang wajib dibayarkan oleh penumpang sesuai kesepakatan. Dengan adanya karcis penumpang maka kedua belah pihak diharapkan mendapatkan kepastian mengenai hak dan kewajibannya. Karcis dapat diartikan sebagai tanda bukti telah terjadinya pengangkutan dan pembayaran biaya pengangkutannya. Di karcis inilah tertulis ketentuan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Pada prakteknya, ketentuan-ketentuan yang ditulis di dalam karcis penumpang sudah ditetapkan secara baku. Artinya, penumpang yang ingin menggunakan jasa bis hanya punya pilihan menyetujui ketentuan-ketentuan tersebut, “take it or leave it”.
Secara umum, ketentuan-ketentuan di dalam karcis yang dibuat oleh suatu PO kurang lebih sama dengan PO lainnya, misalnya:
• Penumpang wajib memiliki karcis yang sah sesuai nama yang tertera di dalam karcis
• Calon penumpang diwajibkan melapor atau harus sudah kumpul di tempat pemberangkatan 1 jam atau 30 menit sebelum jam berangkat
• Penumpang berkewajiban menjaga keamanan barang bawaannya masing-masing dan jika terjadi kerusakan/kehilangan PO tidak bertanggung jawab
Jika masalah yang dihadapi dalam perjalanan ternyata tidak diatur di dalam karcis, maka kita bisa merujuk ke peraturan perundang-undangan yang ada, misalnya Instruksi Dirjen Perhubungan Darat, Keputusan Menteri Perhubungan, Peraturan Pemerintah, atau Undang-Undang. Saat ini, aturan dalam hierarki tertinggi yang mengatur mengenai pengangkutan darat adalah UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Di dalam UU No 22/2009, banyak diatur mengenai kewajiban Penyelenggara angkutan penumpang bus yang keseluruhannya bersumber pada asas dan tujuan dari dibuatnya UU tersebut. Hal ini merupakan suatu bentuk/wujud upaya memberikan perlindungan bagi penumpang, agar terjamin kenyamanan, keamanan dan keselamatannya.
Dalam suatu kajian hukum, penumpang yang tidak memiliki karcis disebut ilegal. Konsekuensinya, penumpang tanpa karcis tidak dapat menuntut haknya sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam karcis atau oleh UU.
Contoh ekstremnya adalah, jika bis yang dinaiki penumpang gelap tersebut mengalami musibah kecelakaan, maka si penumpang gelap tidak dapat menuntut hak ganti rugi dari PO karena tidak bisa membuktikan adanya perjanjian pengangkutan. Dari point ini, seorang anggota Bmc sangat disarankan untuk membeli karcis sebelum menumpang bis alias menghindari praktek menjadi “penumpang gelap”.
Jadi dengan memiliki karcis, maka hak-hak penumpang sebagai konsumen akan terlindungi dan penumpang dapat menuntut PO apabila merasa dirugikan.
Sebagai informasi, berdasarkan data survey Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), hanya 38 persen dari masyarakat Indonesia yang sadar akan haknya sebagai konsumen. Dari jumlah itu, hanya 11 persen yang sadar bahwa hak-hak mereka tersebut dilindungi Undang-undang. Sedangkan mayoritas masyarakat, yakni 62 persen belum sadar bahwa mereka memiliki hak sebagai konsumen.
Untuk membantu mensosialisasikan hak dan kewajiban klien (penumpang), mungkin operator bis umum perlu meniru apa yang sudah dilakukan oleh beberapa perusahaan pelayaran. Perusahaan yang sudah memiliki situs menyediakan kanal yang berisi aturan standar mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak atau dikenal dengan “terms and conditions of carriage”.
Tulisan sederhana ini mungkin tidak akan keluar dalam ujian sekolah atau kuliah tapi bukankah dapat menjadi hal yang positif jika komunitas ikut berperan dalam mengedukasi anggotanya dan masyarakat umum?
Semoga bermanfaat.
Berangkat dari pertanyaan di atas, contoh situasi di bawah ini mungkin akan membuat kita mulai berpikir urgensinya, terlepas dari praktek atau kebiasaan yang mungkin terjadi.
• Bagaimana jika bis yang ingin kita naiki mengalami keterlambatan berangkat atau keterlambatan tiba di tujuan
• Bagaimana jika kita diturunkan di tempat yang tidak sesuai dengan tujuan awal kita beli karcis bis
• Bagaimana jika fasilitas bis yang kita naiki tidak sesuai dengan harga yang kita bayar
• Dan sebagainya
Pertanyaan sederhana dan sepertinya tidak ada yang baru, tetapi bagaimana jika ada penumpang awam yang kebetulan mengalami situasi di atas dan bertanya kepada member Bmc, apakah jawaban yang kita berikan sudah benar secara aturan atau benar berdasarkan kebiasaan saja?
Melihat pengangkutan dari salah satu aspeknya, yaitu aspek perjanjian, mungkin dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.
Pengangkutan sebagai perjanjian biasanya didahului dengan kesepakatan antara pihak pengangkut (PO) dengan pihak penumpang. Kesepakatan tersebut diikuti dengan diterbitkannya karcis penumpang sebagai pembuktian adanya perjanjian.
Kewajiban PO secara garis besar adalah mengangkut penumpang sejak dari tempat pemberangkatan sampai ke tujuan yang telah disepakati dengan selamat. Sebaliknya, PO berhak atas uang jasa atau uang sewa yang wajib dibayarkan oleh penumpang sesuai kesepakatan. Dengan adanya karcis penumpang maka kedua belah pihak diharapkan mendapatkan kepastian mengenai hak dan kewajibannya. Karcis dapat diartikan sebagai tanda bukti telah terjadinya pengangkutan dan pembayaran biaya pengangkutannya. Di karcis inilah tertulis ketentuan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Pada prakteknya, ketentuan-ketentuan yang ditulis di dalam karcis penumpang sudah ditetapkan secara baku. Artinya, penumpang yang ingin menggunakan jasa bis hanya punya pilihan menyetujui ketentuan-ketentuan tersebut, “take it or leave it”.
Secara umum, ketentuan-ketentuan di dalam karcis yang dibuat oleh suatu PO kurang lebih sama dengan PO lainnya, misalnya:
• Penumpang wajib memiliki karcis yang sah sesuai nama yang tertera di dalam karcis
• Calon penumpang diwajibkan melapor atau harus sudah kumpul di tempat pemberangkatan 1 jam atau 30 menit sebelum jam berangkat
• Penumpang berkewajiban menjaga keamanan barang bawaannya masing-masing dan jika terjadi kerusakan/kehilangan PO tidak bertanggung jawab
Jika masalah yang dihadapi dalam perjalanan ternyata tidak diatur di dalam karcis, maka kita bisa merujuk ke peraturan perundang-undangan yang ada, misalnya Instruksi Dirjen Perhubungan Darat, Keputusan Menteri Perhubungan, Peraturan Pemerintah, atau Undang-Undang. Saat ini, aturan dalam hierarki tertinggi yang mengatur mengenai pengangkutan darat adalah UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Di dalam UU No 22/2009, banyak diatur mengenai kewajiban Penyelenggara angkutan penumpang bus yang keseluruhannya bersumber pada asas dan tujuan dari dibuatnya UU tersebut. Hal ini merupakan suatu bentuk/wujud upaya memberikan perlindungan bagi penumpang, agar terjamin kenyamanan, keamanan dan keselamatannya.
Dalam suatu kajian hukum, penumpang yang tidak memiliki karcis disebut ilegal. Konsekuensinya, penumpang tanpa karcis tidak dapat menuntut haknya sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam karcis atau oleh UU.
Contoh ekstremnya adalah, jika bis yang dinaiki penumpang gelap tersebut mengalami musibah kecelakaan, maka si penumpang gelap tidak dapat menuntut hak ganti rugi dari PO karena tidak bisa membuktikan adanya perjanjian pengangkutan. Dari point ini, seorang anggota Bmc sangat disarankan untuk membeli karcis sebelum menumpang bis alias menghindari praktek menjadi “penumpang gelap”.
Jadi dengan memiliki karcis, maka hak-hak penumpang sebagai konsumen akan terlindungi dan penumpang dapat menuntut PO apabila merasa dirugikan.
Sebagai informasi, berdasarkan data survey Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), hanya 38 persen dari masyarakat Indonesia yang sadar akan haknya sebagai konsumen. Dari jumlah itu, hanya 11 persen yang sadar bahwa hak-hak mereka tersebut dilindungi Undang-undang. Sedangkan mayoritas masyarakat, yakni 62 persen belum sadar bahwa mereka memiliki hak sebagai konsumen.
Untuk membantu mensosialisasikan hak dan kewajiban klien (penumpang), mungkin operator bis umum perlu meniru apa yang sudah dilakukan oleh beberapa perusahaan pelayaran. Perusahaan yang sudah memiliki situs menyediakan kanal yang berisi aturan standar mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak atau dikenal dengan “terms and conditions of carriage”.
Tulisan sederhana ini mungkin tidak akan keluar dalam ujian sekolah atau kuliah tapi bukankah dapat menjadi hal yang positif jika komunitas ikut berperan dalam mengedukasi anggotanya dan masyarakat umum?
Semoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar